Dengan kata “ghost” pada judul serta dijual sebagai horor supernatural, dan ya, terdapat banyak sekali insiden mistis di dalamnya, siapa sangka Ghost Stories karya Andy Nyman dan Jeremy Dyson, yang disesuaikan dari pementasan berjudul sama garapan mereka, justru merupakan suguhan skeptis, setidaknya begitu menyentuh babak akhir. Bahkan ketika tokoh utamanya perlahan mulai mewaspadai keraguannya akan hal-hal gaib. Sekarang memang waktu yang sempurna bagi para skeptis melontarkan pertanyaan atas sebuah kepercayaan, terlebih kala makin banyak insan saling serang atas nama kepercayaan, atau tepatnya perbedaan kepercayaan di antara mereka.
Itu yang akan penonton pelajari wacana Profesor Phillip Goodman (Andy Nyman) melalui rekaman ala home video selaku pembuka filmnya, di mana ia mendeskripsikan bagaimana kepercayaan ayahnya, seorang penganut Yahudi taat, justru menghancurkan keutuhan keluarga. Sebabnya, sang ayah mengusir abang wanita Goodman akhir memacari lelaki Asia. Kita yang berpikiran cerah niscaya paham, permasalahan bukan di kepercayaannya, melainkan si penganut yang terlalu buta sampai sulit merangkul perbedaan. Tapi bagi Goodman yang terkena efek eksklusif dan hidup bersama konflik itu, tumbuh menjadi seorang skeptis yaitu kewajaran, meski tanpa sadar ia melaksanakan hal serupa ayahnya.
Goodman dikenal lewat program televisinya yang bertujuan membongkar penipuan berkedok hal-hal mistis maupun spiritual. Tujuannya baik, sayang, acap kali Goodman cenderung merendahkan orang-orang yang mempercayai sesuatu di luar nalar alias agama. Hingga suatu hari ia dihadapkan pada tiga kasus penguji skeptisme yang dianutnya. Ketiga kasus dengan kemasan layaknya antologi itu, meski tidak sepenuhnya mengerikan, masing-masing menyimpan paling tidak satu trik menakut-nakuti kreatif yang layak dikagumi. Pun formasi jump scare formulaiknya, dengan kuantitas secukupnya, tersaji efektif, kadang ditemani musik menghentak, kadang imbas bunyi mengejutkan macam besi yang beradu atau padamnya sumber listrik. Sisanya yaitu perjuangan membangun atmosfer menggunakan kesunyian serta tempo yang bakal menguji kesabaran penonton dengan preferensi horor berlaju cepat khas Hollywood.
Di sela-sela terornya, Ghost Stories mengingatkan penonton terhadap selera komedi hitam jajaran sineas Inggris yang bertebaran sepanjang durasi, yang alih-alih mendistraksi, malah memberi embel-embel energi, yang memuncak sewaktu Martin Freeman memasuki panggung di segmen ketiga, mencurahkan pesonanya. Awalnya tiap segmen nampak tak lebih dari kisah pendek horor familiar yang sesekali melempar pertanyaan, “apakah semuanya sungguh insiden supernatural atau dampak gangguan psikis tiap tokoh?”. Naskah buatan Nyman dan Dyson cukup solid guna memancing kemungkinan bahwa segalanya cuma ada di kepala ketiga narasumber, sama ibarat yang Goodman yakini. Sampai tatkala filmya mencapai babak akhir, kita pun menyadari teror-teror tersebut lebih mempunyai arti untuk Goodman ketimbang ketiga narasumbernya.
Saya takkan mengungkap isinya, tapi Ghost Stories menyimpan dua twist selaku penutup. Keduanya mengagumkan bila dilihat dari bagaimana Nyman dan Dyson terpelajar menebar detail petunjuk sepanjang film. Namun ketika twist pertama terasa mind blowing, seutuhnya mengubah arah kisah pun bersifat terapeutik untuk penokohan Goodmaan, twist kedua yaitu keklisean malas yang mengembalikan film ke akar skeptikalnya, dan hanya diselipkan untuk mengejutkan penonton, bukan menguatkan bangunan alur. Sebelum kejutan kedua merangsek masuk, saya berujar dalam hati, khawatir kisahnya bakal melangkah ke sana. Begitu kekhawatiran itu jadi nyata, ingin rasanya segera meninggalkan bioskop.
Kejutan kesudahannya yaitu simplifikasi keseluruhan kisah yang susah payah dibangun, mengubah intisari dari perjalanan seorang laki-laki skeptis nan murung menemukan sesuatu di luar pemahamannya sembari berhadapan dengan masa kemudian traumatis menjadi penelusuran isi pikiran kacau seorang laki-laki murung yang dipenuhi rasa bersalah. Pondasi yang semenjak awal dibangun berakhir tak mempunyai kegunaan akhir ambisi mengejutkan penonton. Seolah tercetus dua inspirasi dalam otak Nyman dan Dyson, dan mereka tak bisa atau tak mau menentukan salah satu saja, walau kedua inspirasi tersebut tidak saling menguatkan kalau muncul beriringan. Tapi kalau anda termasuk penonton yang suka dikejutkan, tanpa peduli apakah kejutan itu perlu atau tidak, besar kemungkinan anda takkan menemukan masalah.
Komentar
Posting Komentar