Langsung ke konten utama

Buffalo Boys (2018)

Pada sebuah adegan, protagonis kita, Jamar (Ario Bayu) dan Suwo (Yoshi Sudarso) bersama sang paman, Arana (Tio Pakusadewo) berkesempatan menuntaskan misi balas dendam mereka. Senapan telah diarahkan sempurna ke badan Van Trach (Reinout Bussemaker). Awalnya senapan dipegang Jamar. Kita menunggu, tapi titik tembak yang terperinci tak kunjung didapat. Giliran Arana mengangkat senjata. Kita menunggu lagi, peluru tak juga meletus. Setelah beberapa menit, agresi yang dinanti karenanya urung terlaksana. Perasaan serupa selalu terulang sepanjang 102 menit Buffalo Boys, yang terasa ibarat perjalanan melelahkan sepanjang tiga jam.

Ketika Sam Peckinpah meletakkan senjata, ia memberikan keintiman dan kerapuhan di balik machismo para koboi. Sewaktu Sergio Leone meletakkan senjata, ia mengeksplorasi ambiguitas moral, dunia brutal, atau pembangunan yang sama—kalau tidak lebih—menegangkan dari showdown-nya. Sedangkan dikala Buffalo Boys meletakkan senjata, filmnya tidak memberi apa pun, kecuali penantian yang tak pernah ditebus. Dunia barat yang gersang nan keras dipidahkan ke Indonesia di masa kolonialisme, yang meski hijau, tetaplah keras. Para koboi pun bukan pengembara tanpa tujuan atau segerombolan laki-laki tangguh amoral yang karenanya tergerak angkat senjata demi menegakkan keadilan. Mungkin, lantaran semoga bagaimana, ini negeri Timur.

Jamar dan Suwo terperinci tak berada di garis abu-abu. Keduanya cowok baik. Hal personal, tepatnya balas dendam atas maut ayah mereka di tangan Van Trach si penjajah jadi tujuan. Ditempa semenjak kecil di Amerika, bersama Arana, mereka kembali ke Indonesia, berjumpa dengan sekelompok warga desa yang dikepalai Sakar (Donny Damara), yang juga korban penindasan Van Trach beserta kaki-tangannya. Sakar mempunyai dua puteri, Sri (Mikha Tambayong) yang tak punya peranan selain untuk diselamatkan (damsel in distress) dan Kiona (Pevita Pearce) yang digambarkan mahir memanah sambil menunggangi kerbau, namun substansi karakternya pun layak dipertanyakan.

Ditulis oleh sutradara Mike Wiluan bersama Raymond Lee, naskahnya luput memberikan sedih dan amarah dalam hati protagonis. Ketika para hero western beristirahat di malam hari di depan api unggun, sesekali sambil bernyanyi atau bermain harmonika, itulah waktu bagi penonton mengenal mereka. Karena di keheningan malam yang damai, hero tertangguh sekalipun bisa berubah melankolis. Buffalo Boys tak menghadirkan keintiman serupa, pula alpa memaparkan isi kepala juga hati Jamar dan Suwo. Hanya Arana dengan kisah mengenai masa kemudian dan alasan kenapa dua keponakannya itu harus balas dendam yang rutin terdengar. Kita berulang kali dicekoki alasan “mengapa”, namun urung dilibatkan, lantaran akhirnya, koboi-koboi tanah air ini cuma dua cowok nihil kepribadian. Sulit merasa terikat, apalagi mengantisipasi hadirnya “momen besar” ketika sasaran mereka berhasil dicapai. Seolah, kita dibawa melaksanakan perjalanan panjang menaiki kuda (atau kerbau) di hamparan tanah kosong tanpa sesuatu untuk ditunggu.

Tentu Ario Bayu, dengan jenggot lebat, kulit sawo matang, dan riasan “kotor” di sekujur badan cocok sebagai abjad yang menghabiskan waktu usang tinggal di wild west, sementara Yoshi Sudarso, berbekal pengalamannya memainkan Koda/Ranger biru di Power Rangers Dino Charge, tampa meakinkan melakoni porsi laga. Jauh lebih meyakinkan dari kemampuannya melafalkan Bahasa Indonesia. Bisa dimaklumi mengingat bagi Suwo, Bahasa Indonesia bukan “bahasa ibu”, andai di dikala bersamaan, Jamar punya kapasitas tak jauh beda. Masalahnya, jarak di antara mereka terlalu lebar.

Pun kedua tokoh utama kita ini kalah menarik ketimbang jajaran pemain pendukung, termasuk para villain yang punya dandanan sekaligus sikap unik cenderung gila macam Alex Abbad dan Hannah Al-Rashid, yang walau muncul singkat, paling mencuri perhatian berkat performa over-the-top yang terperinci lebih menarik bila disejajarkan dengan para protagonis yang datar. Sunny Pang turut ambil bagian. Sayang, kemampuan bela dirinya disia-siakan, sebagaimana beberapa Van Trach beserta anak buahnya (kecuali Alex dan Hannah) gagal dimanfaatkan potensinya, tak diberi kesempatan memberi bahaya pada Jamar dan Suwo. Sekalinya antagonis di atas angin, kesan bila kedua protagonis bakal membalikkan keadaan dengan cepat nan gampang pribadi terasa. Di luar tokoh-tokoh yang terlibat baku hantam dan tembak, terselip Seruni, budak perempuan Van Trach, yang diperankan Happy Salma, yang menunjukkan akting dengan kepekaan rasa jauh mengungguli penampil lainnya.

Gelaran aksinya bukan rendah di kualitas, melainkan kuantitas. Terdapat elemen kekerasan dan hentakan di tiap-tiap aksi, yang meski dampaknya menurun akhir dibarengi perjuangan menghindari gunting sensor lewat penyampaian tak terlalu eksplisit, masih cukup efektif “menampar” guna menghilangkan kantuk yang disebabkan lemahnya narasi. Masalahnya ialah pemilihan sudut yang digunakan Mike Wiluan. Beberapa “hook”, yang telah berkurang efektivitasnya lantaran keengganan direpotkan urusan sensor tadi, makin lemah ketika urung disokong sudut kamera yang mendukung. Kadang, apa yang harusnya terlihat justru di luar frame, apa yang mestinya diambil dari akrab justru dibungkus wide shot, vice versa. Ditambah minimnya kuantitas laga, bertambah melelahkan film ini.

Anda bisa berargumen bahwa banyak sekali judul western terbaik tak mempunyai banyak aksi. Betul, namun di antaranya, terdapat sesuatu untuk disampaikan, sebutlah gosip sosial, kemanusiaan, hingga problema personal. Buffalo Boys telah mempunyai pondasi guna melangkah ke sana. Selain kisah balas dendam, ini juga paparan soal kolonialisme, yang berujung tumpul ketika filmnya sebatas memberikan dari jauh, dari luar, tanpa menggiring kita masuk dan ikut merasakannya sendiri. Buffalo Boys bisa menjadi citra alternatif terhadap pertempuran skala kecil bersifat kedaerahan yang banyak meletus di tengah perang meraih kemerdekaan dahulu. Namun potensi itu karam bersama poin-poin dongeng yang berakhir sebatas latar bagi sebuah film melelahkan tanpa hal menarik di sela-sela hujan pelurunya.

Saya begitu menantikan Buffalo Boys lantaran variasi tema dipadu sumber daya kelas internasional miliknya. Memang film ini terlihat (cukup) mahal. Production value-nya layak dinikmati, tetapi tata suara, terlebih sewaktu karakternya mengucap dialog, kerap terbenam. Kaprikornus ya, entah dari perspektif aksi, nuansa western, maupun produksi berskala besarnya, film ini mengecewakan. Buffalo Boys merupakan kekecewaan terbesar tahun 2018.....sejauh ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ringkasan Cerita Filim Bad Samaritan 2018

Ringkasan Cerita Filim Bad Samaritan 2018 Ringkasan Cerita Filim Bad Samaritan 2018 Ringkasan Cerita Filim Bad Samaritan 2018, Bad Samaritan menampilkan Robert Sheehan sebagai Sean Falco, sang protagonis yang bersama rekannya, Derek (Carlito Olivero), menjalankan agresi perampokan berkedok parkir valet di sebuah restoran. Modus operandinya, salah satu dari keduanya akan menyatroni rumah korban dengan memanfaatkan GPS dalam mobil, kemudian mengambil barang-barang kecil biar korban tak menyadari agresi tersebut. Sean dan Falco pikir metode itu menjamin mereka lolos, tapi tidak, lantaran Bad Samaritan memastikan kejahatan itu, serta hal-hal jelek lain yang Sean perbuat (sengaja/tidak, besar/kecil) akan mendapatkan balasan. Ini bukan soal justifikasi kriminalitas atau kebodohan muda-mudi yang berbuat tanpa pikir panjang, sebagaimana bertebaran di banyak menu thriller , melainkan soal penebusan kesalahan, dan itu yang membuatnya menarik. Bad Samaritan Melalui naskahnya, Brando...

The Ultimate Cure Gout Naturally in Home Trick

The Ultimate Cure Gout Naturally in Home Trick - There are plenty of methods someone can utilize to help eradicate gout. It needs to be treated properly in order to keep the pain at pain. If you wish to cure gout naturally, AgenBettingOnline.com AgenBettingOnline.com you want to understand how to continue to keep purines out of your entire body and the acid flushed. It is not advised to leave gout untreated for long since the disorder can worsen. Gout is the most frequent medical condition in regard to arthritis. Pseudo gout is a health condition that is often mistaken for gout. There are a number of different methods to deal with gout. You also need to learn how to recognize and treat Gout. If you're a drinker suffering with gout, then you're doing more damage than good. Thus, the reason behind gout is a physical condition that you can control. If you are afflicted with gout, then you are aware of how painful it can be. Gout is believed to be a painful k...

Choosing How to Use Bitcoin

Choosing How to Use Bitcoin - The use is a key-factor so, I believe whether any crypto enthusiast can enable the little retailer throughout the street to accept Bitcoin, the entire thing will begin growing. On the 1 hand, the use of Bitcoin is still quite limited, on the flip side, there's a danger of constantly carrying its digital money with it. AgenBettingOnline.com There's no need to use email or contact number. To begin with, you'll need to choose the quantity you want to buy. Put simply, it is a need to know basis. The very first step is to validate the idea depending on the hypothese. Just as it is a excellent concept to diversify in the stock market, it is a fantastic concept to diversify in crypto. In some instances, it may even be wise to have it notarized. When investing in crypto is a excellent notion to diversify, and investors have various techniques to do it. The point is to use the blockchain for a type of decentralized data confirmation serv...