Mengadaptasi Ananta Prahadi buatan Risa Saraswati yang merupakan satu-satunya novel roman sang penulis, Ananta berpotensi memaparkan kisah indah perihal kebaikan dalam hidup, mengenai laki-laki yang menaruh hati pada seorang wanita, bukan (cuma) lantaran parasnya, pun melalui karyanya, di mana sisi terdalam sekaligus ungkapan rasa paling jujur perempuan itu tertuang. Kisah yang murni nan indah, andai konklusinya tidak terjerembab ke kubangan dramatisasi klise dan tak perlu menjelang akhir, yang juga upaya penggampangan guna menutup cerita. Ganti Fero Walandouw dengan Dimas Anggara, pindahkan lokasi ke luar negeri, maka anda akan mendapatkan produksi MD Pictures rasa Screenplay.
Adegan pembukanya membawa kita ke dalam kelas kawasan Tania (Michelle Ziudith) berada. Kelas itu terasa asing. Siswa dan seorang guru seni yang diperankan Astrid Tiar memenuhi ruangan, tapi saya tidak merasa dikelilingi manusia. Mereka ialah karikatur. Ibu guru yang mencela murid panjang lebar di tengah jam pelajaran, Tania si jago lukis yang dipandang aneh, menutup diri, tapi sanggup tiba-tiba melontarkan ungkapan bernada sinis kala guru tengah menjelaskan. Sama halnya dengan sang titular character, Ananta Prahadi (Fero Walandouw), bocah kampung polos yang berusaha keras berteman bersahabat dengan Tania meski selalu mendapatkan perlakuan sinis.
Fero membawakan kiprahnya dengan mengikuti formula akting dewasa kampung yang senantiasa bersikap sopan dengan postur badan sedikit membungkuk dan senyum yang kolam takkan sirna. Sementara Michelle Ziudith, berpegang teguh pada buku pedoman “How to Act Like Michelle Ziudith”, lancar menjalani tangisan demi tangisan, juga bentakan demi bentakan. Tania memang lebih identik dengan tangisan serta bentakan ketimbang talenta melukisnya, alasannya ialah filmnya sendiri, meski punya tokoh utama seorang seniman “pemain warna”, urung memanfaatkannya demi membuat bangunan visual menarik. Belum lagi, menengok lukisan Tania, walau menarik, rasanya bukan hasil karya yang bakal membuat kurator asal Yogyakarta terbuai, kemudian mengatakan bazar tunggal.
Ananta memang problematik, sampai masuk fase pertengahan tatkala naskah Alim Sudio (Ayat-Ayat Cinta 2, Surga Yang Tak Dirindukan 2) mulai menaburkan bumbu komedi. Selain efektif memancing tawa, komedinya membuat rentetan kekurangan di atas sanggup diterima, lantaran kesan karikatur untuk sebuah huruf lebih sempurna mengisi suguhan komedik daripada dramatik. Pun berkatnya, Asri Welas sebagai Bik Eha, pembantu Tania, berkesempatan unjuk gigi mencuri perhatian di tiap adegan yang melibatkannya. Kemudian hadirlah sang kurator asal Yogyakarta, Pierre (Nino Fernandez), yang memancing saya berprasangka jelek jika Anata bakal melangkah menuju konflik standar cinta segitiga. Untung saya keliru.
Kebersamaan Ananta-Tania-Pierre justru memunculkan titik non-komedik terbaik filmnya, sewaktu Ananta menampilkan sebuah bentuk kebahagiaan sederhana: duduk di bawah cahaya matahari yang bersinar seterang senyum penuh kedamaian ketiga karakternya. Keputusan sutradara Rizki Balki (A: Aku, Benci, dan Cinta) menekankan pada kehangatan suasana terbukti tepat. Saat itu Tania membawa Pierre dan Ananta mengunjungi ruang fantasinya, sambil ditemani musik gubahan Joseph S. Djafar (London Love Story, The Perfect Husband) yang memancarkan imaji serupa. Musiknya membuat saya seolah diajak mengunjungi dunia dongeng walau sekilas. Bermodalkan karismanya, Nino Fernandez tampil meyakinkan sebagai laki-laki yang menyikapi dengan tenang khayalan liar Tania, seolah segalanya potongan dari rutinitas yang selalu Pierre hadapi.
Sampai datanglah twist ganda yang seketika merobohkan pondasi kisah, secepat kilat menyeret Ananta ke titik nadir. Melodrama kita punya dua senjata andalan pencipta nuansa dramatis mengharu biru, yaitu korelasi belakang layar antar huruf yang dipenuhi kebetulan serta eksploitasi kondisi medis. Tidak tanggung-tanggung, Ananta meleburkan kedua senjata tersebut. Pasca konklusi terungkap, motivasi Ananta bergeser, dari kebaikan hati yang nrimo lantaran kasih sayang, menjadi kebaikan yang terjadi lantaran faktor eksternal ditambah ketiadaan pilihan bagi karakternya. Ananta ditutup secara mengecewakan, dan saya masih menantikan momen Anjasmara menerima film elok sesudah memutuskan kembali ke layar lebar.
Komentar
Posting Komentar